Nyaman di Punti Kayan

"Biasanya, jam segini lagi sikat gigi sambil tatap-tatapan sama Pengan (babi) yang lagi sarapan"
"Biasanya, jam segini lagi main bareng adik-adik di Sekolah."
"Biasanya, jam segini lagi ngecek kamar mandi ada air atau engga buat mandi."

Punti Kayan. Izin kan saya mengenalkannya sebagai sebuah tempat yang menghangatkan hati dan menentramkan jiwa. Jauh dari hiruk pikuk dan segala tekanan yang menjadi ciri khas kehidupan kota. Signal tak ada, begitu pula listrik. Pepohonan hijau terjaga asri disekeliling desa. Dan yang paling membuat saya jatuh cinta adalah masyarakatnya.

Dusun Punti Kayan dengan rakyatnya yang pemurah senyum dan tak tertutup membuat siapa saja yang berkunjung seperti kembali ke rumah. Jika kamu berjalan sendirian, jangan heran jika akan ada anak-anak yang menyapamu, "Kakaaakkk...". Mereka terlalu bahagia melihat segala keunikan dan perbedaan yang menempel pada dirimu. Dibalik sapaannya, mereka punya harapan kelak kamu akan melakukan sesuatu yang baik untuk Dusun Punti Kayan ini. 

Jika kamu berjalan sendirian, jangan sungkan untuk menyapa balik kerumunan ibu-ibu yang tersenyum padamu. Mereka tidak menyapa, tapi senyumannya punya makna. "Sini, mampir dik". Bagian nikmatnya, kamu bisa mencicipi masakan khas Desa yang sedang mereka santap bersama. Tak jarang diberi lebih untuk dibawa pulang.

Jika kamu berjalan sendirian, jangan kaget jika tanganmu tak bebas bergerak. Anak-anak akan dengan setia menuntunmu ke segala tempat seru di pelosok desa. Mereka dengan senang hati akan menjadi pemandu mu dan menghabiskan sore yang cerah dengan gaya mereka. Percayalah, mereka paling tahu caranya bersenang-senang. 

Jika kamu berjalan sendirian, cobalah sapa remaja sebayamu yang sedang mengupas kacang di beranda rumah atau yang sedang bermain bola di lapangan. Mereka sama seperti mu. Mereka juga seorang belia yang ingin banyak tahu. Yang saya katakan bukan mereka tak tahu apa-apa. Mereka sangat tahu. Mereka yang paling tahu tentang desanya. Sedangkan kamu tidak. Kamu tahu tentang tempatmu. Kenapa tidak saling bertukar cerita dan saling memotivasi? 

Jika kau berjalan sendirian, jangan lupa untuk menatap jalan. Iya, jalan yang sedang kamu pijak. Hati-hati. Ranjau disana-sini. Hihi.


Ekspedisi kali ini punya tempat sendiri di hati saya. Masyarakat desa, suasana desa, dan tentu saja desa itu sendiri. Tapi, tidak boleh dilupakan orang-orang yang juga ada disini dengan status yang sama dengan saya. Delegasi. Saya pernah mengungkapkan (langsung ke mereka) betapa bersyukurnya saya pada Allah karena telah mengizinkan saya bertemu dengan mereka. Tapi ya gitu, saya di hujat. 
Jangan khawatir. 
Saya senang, karena saya tau menghujat dan bully-an yang keluar ibarat sebuah peti yang melindungi perasaan bangga, senang, bahagia dan syukur karena telah dipertemukan. Perasaan-perasaan ini terlalu berharga. Jika dibuka sembarangan, akan banyak yang iri. Makanya harus dilindungi. Meski akan jadi canggung, tapi tetap akan saya sampaikan bahwa Allah maha baik. Cukup bagiNya satu minggu untuk ia tunjukkan keluarga yang indah di Entikong sana (Fidi, 2018)

Pengalaman ini juga banyak menyadarkan saya tentang hidup. 
Anak-anak mengajarkan saya tentang cinta yang tulus dan ikhlas, tanpa pandang bulu. Dari mereka juga saya memaknai keceriaan dan kebahagiaan di tengah-tengah keterbatasan. Fasilitas bukan halangan untuk mereka berkarya, bermimpi dan bercita-cita. Malu rasanya, dengan fasilitas yang dipunya, tidak menjadikan diri saya seseorang yang produktif. Benar kata si pintar, "Terkadang, fasilitas adalah alasan kenapa seseorang gagal.".


Menginginkan sesuatu yang berbeda untuk merayakan bertambahnya usia sah-sah saja bukan? 
Saya tidak pernah menginginkan sesuatu sedalam ini. Saya ingin menjadi dewasa dan berguna bagi orang lain dan Allah jawab doa yang saya panjatkan dengan memberi kesempatan bisa berada ditengah-tengah lingkungan baik di Entikong, Kalimantan Barat.

Terimakasih. 
Terimakasih untuk semua perjalanan, pengalaman, kasih sayang, rasa hangat, dan semua hal baik yang rasanya terlalu banyak untuk saya nikmati sendiri. Terlalu banyak yang saya terima dari Ekspedisi Berbakti ini. Hingga malu rasanya karena kontribusi saya tak seberapa. 
Terimakasih, Punti Kayan. 
Karena sudah menjadi rumah, yang akan selalu saya rindukan. 
Karena sudah menjadi rumah dan akan selalu saya cari bagaimana caranya untuk pulang. 

Comments

Post a Comment