Rezeki Udah Ada Yang Ngatur, Pak

Beberapa hari ini suasana Medan ga ada tenangnya. Berita yang saya ikutin mengabarkan keributan dimana-mana. Entah itu kebakaran yang makin sering terjadi, begal yang ga ragu buat beraksi, sampe tukang becak yang menuntut eksistensi. 

Awalnya saya ga terlalu ambil pusing sama suasana di Medan yang emang udah biasa ribut gini. Hampir 5 tahun menetap di kota ini, saya mulai terbiasa dengan orang-orang yang kesenggol dikit, reaksinya "Ko tengok jalan itu, Lae! Pakek matamu!". Atau yang hampir nyenggol dikit pas lagi berkendara, reaksinya "Sukak kau aja, bah! Bukan jalan opung kau ini, nang!" Bacanya pake aksen batak yah, bukannya rasis, tapi yang ga Suku Batak pun, aksen ngomongnya gini. Namanya juga Medan. Dari impression yang saya tulis di atas, kesannya kasar banget, ya? Tapi ga semuanya bermakna "sekasar" kalimatnya. Kayak yang udah saya bilang, Medan emang ngomongnya gitu. Lu-Gue ga laku di sini, yang ada malah ditanyain "Jakarta sebelah mana, bil?"

Tapi, berita tukang becak yang  merasa pamornya tersaingi buat saya geram sendiri.
Jadi ceritanya begini. Tau Gojek, kan? Tau Grab, kan? Nah, dua start up itu udah ada di Medan beberapa tahun belakangan ini dan sangat berkembang pesat karena memang sangat membantu mobilisasi masyarakat Kota Medan. Sebelum adanya Gojek dan Grab, transportasi umum di Medan terbatas sama Becak dan Angkot.

Terus?

Angkot.
Angkot di Medan ga kaya di Pekanbaru yang satu tujuan cuman ada satu warna, ga ada sistem penomoran di Pekanbaru. Ga bikin penumpang bingung kalau mau kemana-mana. Lagian angkotnya banyak, jalanannya tertata rapi dan bersih. Rebutan penumpang sampe ugal-ugalan bikin sport jantung juga ga ada di Pekanbaru (Ini pengalaman saya naik angkot di Pekanbaru, pas kelas 2 SMP. tahun 2010, mungkin. Gatau sekarang keadaanya gimana). Ga kaya di Medan yang udah dari saya SD kayanya buanyaaaaakkkk banget nomor mobilnya. ada sistem A sama B-nya lagi. Ga ngerti yang mana satu untuk nyampe ke Kampus, misalnya. Belum lagi aksi rebutan penumpang sampe ugal-ugal orah genah. Wes pusing ndasku.

Becak.
Di Pekanbaru, Becak ga terlalu eksis. Palingan juga cuma ada beberapa unit aja di depan gang dan rutenya juga cuma keluar-masuk gang. Becaknya juga bagus, ga bising, terawat, tukang becaknya ramah, dan yang paling penting, penutup atas atau atap penumpang becaknya ga terbang pas becaknya jalan. Ini pengalaman saya, waktu itu tahun 2012 kalau ga salah. Awal-awal saya SMA di Medan. Jadi saya milih naik becak ke Sekolah karena udah telat, kalau harus naik angkot dan jalan kaki lagi dari simpang bakal telat. Setelah negosiasi harga, saya pun naik ke becak. Si abang tukang becaknya kan nge-gas tuh biar becaknya jalan, eh penutup atas penumpang nya terbang. Kebayangkan malunya saya di tengah jalan kepampang gitu muka kebingungan saya. Duh!

Intinya, karena kualitas yang tidak bersaing, Gojek-Grab lebih diminati masyarakat Kota Medan, termasuk saya. Harga gajauh beda kok, kualitas dan keamanan terjamin lagi, begitu kira-kira yang saya pikirkan.

Nah, ternyata tukang becak merasa tersaingi nih dengan adanya Gojek dan Grab. Mereka ga sekedar unjuk rasa doang, tapi juga memblokir daerah-daerah tertentu dari transportasi online dan ga sampai disitu, mereka juga main fisik! Iya! Ada satu supir Grab yang jadi korban, kasihan.

Yang saya ga habis pikir adalah kenapa harus ada pemblokiran dimana-mana? Kenapa harus sampai main fisik? Oke, untuk yang kasus main fisik ini, saya ga sepenuhnya membela si korban, lho. Karena kalau kalian lihat videonya, kedua pihak menurut saya salah.

Yang saya mau bilang adalah rezeki udah ada yang ngatur, Pak. Allah sendiri bilang "Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubat : 28)

Kenapa harus memblokir dan menghalangi usaha orang lain untuk mencari rezeki? Kenapa ga melihat ke diri sendiri. Apa kurangnya kita? Apa yang bikin orang lain lebih unggul dibanding kita? membandingkan diri dengan orang lain terkadang perlu untuk mengetahui dibatas mana kualitas kita dan memotivasi kita untuk menjadi lebih berkualitas, Pak. 

Bersaing secara sehat lebih enak lo, Pak. 

Damai.

Kalau gini, ribut dimana-mana, anarkis kemana-mana, yang ada kami (masyarakat) makin takut dianter kemana-mana sama Bapak.

Rezeki udah ada yang ngatur, Pak. Jangan takut miskin, karena percayalah, manusia adalah makhluk paling kaya. (Gitasav, 2016)

Comments