Oleh-oleh dari Sabang

Alhamdulillah di 11/12 menuju seperlima abad ini dikasih rezeki bisa ngabisin waktu yang indah bareng "lingkungan baik" di Sabang. Jadi, dari tgl 31 Juli sampe tanggal 4 Agustus, saya dan temen-temen pergi liburan ke Aceh, atau lebih tepatnya ke Sabang.

Ini rencana sudah dari lama banget. Dari dua tahun yang lalu kalau tidak salah, tapi baru Allah izinkan sekarang. Tahun lalu batal karena banyak apa ya? Saya juga lupa, tapi yang pasti, kami buat janji kalau tahun ini harus jadi. Yang pergi juga ga sesuai dengan yang direncanakan, ga semua Dajjal pergi, ada nyempil 2 manusia "menggemaskan". Tjun lah!

Perjalan dimulai tanggal 31 Juli malam, semuanya ngumpul dirumah Salsa. Sebenarnya mereka udah nungguin dari jam 4an gitu dirumah Salsa, tapi akhirnya berangkat jam 8an malam karena nungguin saya, hehe. Saya harus nyelesain kerjaan dulu, pas pula tamu lagi rame-ramenya banget.

Sewa dua mobil avanza dari Tante saya, perjalanan Medan-Banda Aceh kami tempuh kurang lebih 9 jam. Iya! 9 JAM!! Supirnya gokil? IYA! EMANG! Kami punya dua supir tangguh, named Mar'i O'conner (Ai) dan Dominic Prabowo (Bagus). Kebayangkan, seberapa kecepatan mobil yang supir kami bawa? Goks, kan? Tapi saya ga sadar, wong sepanjang perjalanan sayanya tidur, hehe.

Saya lupa tepatnya jam berapa, tapi yang pasti lewat tengah malam kami berhenti di SPBU didekat perbatasan Sumut - Aceh untuk makan malam. Ga beeli, kami mah stel hemat dan cermat, jadi bawa bekal dari rumah, bentang tikar dan semuanya makan-lewat-tengah-malam berjamaah didekat musholla SPBU.

Sampe di Banda Aceh kita langsung cus ke Pelabuhan karena takut ga kebagian penyebrangan untuk hari itu juga (1 Agustus 2017). Dan ga rezekinya kami untuk nyebrang ke Sabang. Cuaca lagi ga bagus dan badai gede di laut. Rezekinya kita adalah jalan-jalan di Banda Aceh dan dapat kesempatan nginap gratis dirumah Abangnya Dian, diperumahan tentara, Rider kalau saya ga salah namanya. Hehe.

Long Story Short, kami mutusin untuk nyebrang tanpa bawa mobil. Mobilnya dititipin di gudang khusus penitipan mobil di Pelabuhan. 

Saya bersyukur sekali karena bisa ikut liburan bareng anak-anak "Tjun". Ga sekedar liburan, bagi saya ini lebih ke bagaimana mensyukuri apa yang saya punya, berterimakasih akan apa yang sudah Allah beri ke saya, kesempatan, waktu, teman segokil mereka dan sekaligus membuat saya semakin bersyukur karena terlahir sebagai muslim. Semua pemandangan indah yang saya lihat saat liburan bikin saya sadar kalau kuasa Allah luarbiasa besarnya. Pantai pertama yang saya kunjungi adalah Pantai Lampuuk, Aceh. Airnya biru banget ditambah dengan udara saat itu sedang tidak panas dan angin tidak terlalu kencang. Sangat mendukung sekali, bukan?

Pemandangan didepan penginapan kami di Gapang, Sabang juga ga kalah indahnya. Bayangin dong, saya bangun pagi, pas buka pintu disuguhin pemandangan pantai berair biru dan angin yang ga bikin jilbab terbang-terbang kesana kemari, nah loh haha.

Dipagi pertama di Gapang, Sabang dimulai sekitar pukul 5 pagi, kalau saya ga salah. Belum subuh, matahari juga masih belum keliatan. Masih gelap gulita diluar. Teman-teman yang lain masih molor, saya mutusin untuk jalan keluar kamar karena pengen nikmatin sunrise dari depan kamar. Saya duduk diatas pasir, ga pake alas. Kerasa dinginnya pasir dan angin yang ga terlalu kenceng. Hp sengaja saya matiin datanya dari malam, tidak ingin diganggu. Saya ga mikirin apa-apa saat itu. Kosong. Saya cuman terhipnotis sama ombak yang tanpa ada yang ngajarin bisa berjalan sendiri dari tengah laut sana. Terhipnotis sama kepiting kecil transparan-yang-saya-ga-tau-namanya lari pontang panting menghindari tarikan ombak. Terhipsnotis sama garis-garis warna orange yang makin lama makin jelas di langit. 

Bosan duduk dibawah, saya pindah duduk ke jaring-jaring yang mirip hammock punya penginapan sebelah. Sama, dingin. Karna hujan tadi malam. Saya sibuk ngatur lensa kamera untuk motret sunrise ntar, tapi bukan itu tujuan saya sebenarnya datang kesini. Ada disini. Sambil fokus sama langit yang warnanya berubah dengan anggun, saya mikir betapa tertinggal jauhnya kualitas saya dibanding teman-teman yang lain. Mereka terlihat lebih santai hidupnya. Seperti tanpa beban. Saya tau, tidak mungkin manusia tidak punya beban dalam hidupnya. Beban itu pasti ada, tapi kembali lagi bagaimana si manusia itu menghadapinya. Dari mereka saya belajar, membuat orang lain tertawa adalah salah satu cara untuk bahagia. Tapi tidak dengan menertawakan orang lain. Tertawa itu sehat, bikin bahagia, tapi menertawakan orang lain itu jahat.

Dari mereka juga saya belajar sisi positif dan negatif manusia itu jelas ada. Kelebihan dan kekurangan orang lain juga tentu saja ada. Siapa sangka yang terlihat amburadul dan bicara semaunya diluar, malah lebih paham tentang sholat sunnah dan jama'. Ini yang paling saya syukuri karena bisa kenal dan dekat dengan mereka. Belajar dari mereka saya akhirnya mulai mencoba menunaikan sholat sunnah. Saya sebenarnya malu nulis ini di blog, udah lama berhijab tapi baru sekarang ngeh sholat sunnah. Tapi maksud saya bukan untuk mempermalukan diri sendiri, loh ya. Maksudnya saya tu, walaupun teman yang ada disekitar kita tidak terlihat baik, tapi kamu tidak berhak untuk kemudian menjauhi dan enggan berteman dengannya. Bertemanlah dengan siapa aja, karena sedikit banyak akan ada hal yang bisa kamu dapatkan.


Dari obrolan santai nunggu sore di Pantai Sumur Tiga, Sabang juga bikin saya paham tentang standard hidup. Mereka cerita seputar pengalaman masa kecil di Pantai Sumur Tiga, permainan-permainan tradisional yang anak sekarang ga bakal tau. Permainan yang hanya sesama anak kecil yang paham, orang dewasa mana tau. Saya cuman menyimak mereka ngobrol doang tanpa bisa nyambung apa lagi nimbrung sama apa yang mereka ceritain. Karena emang saya ga tau apa-apa.

Mereka cerita banyak permainan yang sampai saat itu, saat mereka nyeritain semua permainan itu, masih terlihat asik dan menghibur. Saya ga tau apa-apa. Yang saya ingat, pas SD, pulang sekolah, saya les matematika, pulangnya les renang, sampe rumah udah malem dan langsung belajar buat besok. Seperti itu setiap hari, atau paling tidak di combine dengan bimbel dan les tambahan di sekolah. Saya gatau semua permainan yang mereka ceritain. Saya ga paham. Masa kecil saya suram? Tidak. Saya ga merasa begitu. Saya malah merasa bersyukur dan sekaligus sadar kalau standard  hidup saya waktu kecil dan sekarang udah jauh berbeda. Saya harus tau diri di anak tangga mana saya sekarang berdiri. Saya juga harus tau batas sampai sejauh mana saya harus menikmati hidup dan berjuang untuk hidup. 

Pada anak tangga ini saya harus bisa menikmati apa yang ada tanpa mendamba-dambakan hal yang sebenarnya tidak penting tapi menjadi prioritas demi popularitas. Pada fase hidup saya sekarang ini, rasanya tidak perlu mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan ribu untuk sekedar nongkrong di cafe biar hedon. Pada fase sekarang ini, gausah muluk-muluk la mau pake hape apel kegigit, sekedar hape lama yang masih tetap bisa komunikasian sama keluarga dan sahabat saja sudah cukup. Pada fase ini pula saya merasakan nikmatnya telur dadar buatan sendiri karena ga pantas lagi rasanya merengek minta makan di Pizza Hut hanya karna dapat nilai seratus di ulangan matematika. Hidup saya ga kaya dulu. Saya bukan lagi gadis kecil polos yang ngekorin Papa-nya kemanapun. Keadaan sudah berubah. Keluarga, ekonomi bahkan status juga sudah berubah. Saya tidak mengeluh, ga boleh mengeluh. Keadaan tidak seharusnya di-eluh-kan. Tapi bersyukurnya saya, fase ini tidak menjadikan saya pribadi yang berbeda. Banyak kebiasaan yang dari kecil Mama selalu biasain ke saya, jadi kebawa sampe sekarang. Saya masih jadi gadis yang kemana-mana bawa botol air minum karena ga rela beli aqua di resto harganya bisa sampe limabelas ribuan. Saya masih jadi gadis yang kalau mau beli tas mesti nabung dari tiga bulan sebelum semester baru dimulai. Saya masih jadi gadis yang berani minta beli hape baru kalau ranking satu di kelas. Saya ga jadi orang yang semata-mata hanya bisa menuntut tanpa ada usaha. 

Keadaan yang seperti ini sangat saya syukuri sekaligus saya jadikan motivasi untuk bangkit dan menjadi lebih baik. Menjadi lebih baik bukan kemudian menaikkan standard hidup ya. Tapi, lebih kepada mensyukuri apa yang ada dan merasa cukup akan apa yang dipunya. 

Selama liburan di Sabang, disadari teman-teman atau engga, saya lebih banyak diam. Saya terlalu sibuk memperhatikan ekspresi dan tingkah laku teman-teman. Senang rasanya bisa melihat mereka bahagia, benar-benar menikmati liburan yang serba hemat ini. Saya ga tau sih sebenarnya ini teori dari mana, tapi menurut saya melihat orang lain bahagia, adalah kebahagian itu sendiri.

Dari memperhatikan mereka juga saya tau seperti apa standard hidup mereka masing-masing. Saya paham most of them punya standard yang tinggi menurut saya. Tapi, itu ga bikin saya minder apalagi malu berteman dengan mereka. Justru saya merasa mereka tidak terlalu peduli dengan "standard hidup" teman-temannya. Mereka berteman dengan semua orang. 

Saya bingung mendeskripsikan perasaan saya ke mereka. Saya bukan orang yang menyenangkan. Bukan! Tajir juga engga. Saya masih harus bekerja hampir 12 jam untuk bisa hangout bareng mereka karena terlalu malu minta uang ke orang tua. Cantik juga tidak. Tapi senangnya saya bisa diterima dengan baik oleh mereka. 

Karena terlalu aneh mengungkapkan perasaan bahagia saya ke mereka, -percayalah-pertemanan-kami-ga-se-drama-itu akan lebih baik jika ungkapan rasa bahagia ini saya sampaikan ke Allah, biar Allah yang menyampaikan ke mereka. 

"Terimakasih untuk lingkungan baik yang ada di sekitar saya ini, ya Allah. Jaga mereka agar tetap dalam lindunganMu dan bantu kami untuk menjaga silahturahmi antara satu dengan yang lain dan tuntun kami agar bisa menjadi sekumpulan manusia yang lebih baik dan lebih dekat padaMu. Amin" 


Comments

Post a Comment