Sebuah Pesan #1

Untuk: Hati

Cukup Tuanmu saja yang mudah lupa. Cukup Tuanmu saja yang tak peka. Cukup Tuanmu saja yang terluka.
Kau jangan.

Jangan lupakan semua sayatan yang membekas. Jangan lupakan semua harapan yang hancur dan kandas. Dan jangan lupakan semua rasa pahitnya.
Tuanmu melupakan itu semua. Entah sengaja atau tidak, kau pun tak tahu. 
Ingatkah kau, waktu itu Tuanmu tersesat. Hendak pulang, tapi tak tau arah. Kau katakan tuk pergi ke utara atau tanya saja. Kau pun ragu, dan seorang pemuda menolongnya.
"Ikut saya saja. Tujuan kita sama."
Tuanmu ragu (lagi). Tapi tidak punya pilihan dan akhirnya setuju. Sepanjang perjalanan Tuanmu hanya diam memikirkan kalimat Ibunya. 
"Jangan percaya orang yang baru dikenal." 
Tuanmu masih tak kenal dia. Lalu bagaimana ini? Kau masih optimis. "Semua orang sebenarnya baik" gumam Tuanmu. Tuanmu masih mengikutinya. Laki-laki yang menggantungkan headset ditelinganya itu seperti tidak mempedulikan Tuanmu. Senyum pun tidak. 

Bis berhenti disebuah halte. Kau masih waspada dan bergerak dengan hati-hati, tak ingin orang lain tau kalau kau membuat Tuanmu deg-degan.
"Ayo, kita transit disini" si Laki-laki bersuara. Tuanmu mengikuti langkahnya.
Mereka masih tetap diam. Kau yang ribut sendiri. Kau ragu dan makin bingung. Haruskah Tuanmu tetap mengikuti laki-laki ini?

"Nanti saya turun di ****, kamu jangan ikuti saya lagi. 2 terminal lagi baru kamu turun." ujarnya sambil menarik tangan Tuanmu, menghindari desak-desakan penumpang dan menempatkanmu disebelahnya. "Disini saja, biar ga dorong-dorongan"
Kau tersentuh.

Antara sadar atau pura-pura tidak tahu, terminal tujuan lelaki itu sudah terlewati. "Terminal mu masih jauh, kah?" tanya Tuanmu polos.
"Iya." Jawabnya cuek, membuat kau makin jatuh.

Bis tiba di terminal tujuan Tuanmu. "Saya turun disini."
"Ayo" ditariknya lagi tangan Tuanmu, menembus ramainya para penumpang. Kau jatuh (lagi) dan heran.
"Kamu bukannya turun di Terminal yang tadi? eh, atau masih di depan lagi?"
"Gapapa, ayo. Kamu lanjut naik apa? Ojek"
"Iya"
Kau terpukau. Kau tersentuh. Dan kau jatuh (lagi).

Pikiran bilang kau terlalu mudah percaya pada orang. Kau masih terpukau, makin terpukau. Tuanmu juga. Kata Logika, kalian berdua terlalu pelupa. Logika bilang, "Masa iya kalian bisa lupa! Lelaki itu sama semua. Terlebih ini. Hati! Jangan terlalu cepat jatuh. Jatuh hati cuman bikin Tuan kita makin sakit. Bekas yang waktu itu pun belum hilang. dan tidak akan hilang!!" Tuanmu terdiam. Sambil lalu, seperti film yang terputar di benakmu, ada dia. Teman kecil yang jadi lelaki sempurna-mu. Yang kau labeli "tipe ideal"-mu. Yang dengan sabarnya kau cintai meski ada ribuan km diantara kalian. Yang meninggalkan bekas luka dalam dihati dan hari-harimu. Yang membuat Tuanmu mengabaikan lelaki lain yang datang padanya karena tau, semua lelaki sama. Setidaknya itu paradigma yang masih dipelihara Tuanmu. Jangan salahkan ia. Tuanmu hanya tidak suka rasa sakit. Ia sudah bahagia dengan apa yang ia ciptakan sendiri. Bahagianya. Bahagia Tuanmu, ia ciptakan sendiri. 

Lalu seorang sahabat yang punya singgasananya sendiri di hati Tuanmu pernah bilang. "Tapi kalau bahagia itu sendiri yang datang menghampirimu? Maybe that sounds happier than you create it". Entah lah. Tuanmu tidak terbisa mengandalkan orang lain untuk keperluan dirinya sendiri. Termasuk urusan tentangmu. Tentang hati.

"Hati-hati, Kang. Tolong di antar sampai tujuan. Dengan selamat." ujar lelaki ini sambil mengeluarkan ponselnya dan memotret nomor polisi motor yang Tuanmu naiki. Kau terpukau (Lagi). Kau tersentuh (Lagi). Dan kau jatuh (lagi). Logika makin berang. Begitu pula nalar.

Tapi tak apa. Untuk kali ini, ku izinkan kau. Kau dan tuanmu. Setidaknya ingat ia sebagai orang baik. Jangan berharap atau mengingat lebih. Jangan punya ekspetasi lebih. Hanya sebagai orang baik. Dan yaaa... namanya Rizki.

Comments